Beranda | Artikel
Penjelasan Kitab Tajilun Nada (Bag. 1): Mukadimah
Minggu, 21 Januari 2024

Pentingnya mempelajari kitab Ta’jilun Nada

Di antara kitab kaidah nahwu dalam bahasa Arab yang sangat penting dipelajari adalah kitab Qathrun Nada yang ditulis dan di-syarah oleh Al-’Alamah Abu Muhammad Abdullah Ibn Hisyam Al-Anshari, masyhur dengan panggilan Ibnu Hisyam. Ibnu Hisyam wafat tahun 761 H. Kemudian Syekh Abdullah Al-Fauzan men-syarah kitab ini yang kemudian diberi judul Ta’jilun Nada setelah beliau selesai mengajarkannya pada suatu majelis yang ada di salah satu Masjid. Majelis beliau dilaksanakan satu kali dalam sepekan dimulai semenjak Selasa sore tanggal 13 Syawal 1415 H dan selesai pada Selasa sore tanggal 16 Zulkaidah 1417 H. Beliau menulis kitab ini berdasarkan penjelasan yang beliau sampaikan di majelis dengan beberapa revisi.

Metodologi yang beliau gunakan di dalam kitab ini adalah:

Pertama: Syekh Abdullah Al-Fauzan menulis penjelasan kitab tersebut dengan metode yang mudah, agar penuntut ilmu pemula mudah memahaminya. Kitab tersebut bisa dipelajari setelah kitab Matan Al-Ajurrumiyyah.

Kedua: Syekh Abdullah Al-Fauzan tidak menyebutkan pembahasan khilaf (perbedaan pendapat) dalam nahwu. Beliau hanya menuliskan pendapat yang kuat. Kecuali, khilaf yang ditegaskan Ibnu Hisyam di Matan Qathrun Nada, dan itu pun sedikit. Adapun khilaf yang ada dalam nahwu mayoritas adalah khilaf tanawwu’. Apabila salah memilih dalam khilaf tanawwu’ dalam nahwu, maka konsekuensinya tidak fatal. Tentunya khilaf tanawwu’ tersebut tidak berdampak besar pada i’tiqad seseorang (keyakinan seorang muslim kepada Allah Ta’ala) dan amalan seseorang dalam beribadah kepada Allah. Oleh karena itulah, Syekh Abdullah Al-Fauzan menghindari penyebutan permasalahan khilaf nahwu di dalam syarah.

Ketiga: Syekh Abdullah Al-Fauzan tidak menyebutkan pembahasan ta’lil. Ta’lil nahwu adalah alasan-alasan dalam nahwu. Contohnya adalah kenapa mutabda marfu’, khobar marfu’, dan lain-lain.

Berkaitan dengan pertanyaan tersebut, ulama berselisih dalam menjawabnya. Adapun penuntut ilmu cenderung kesusahan dalam memahaminya, terlebih-lebih pemula dalam mempelajari nahwu. Hal tersebut juga tidak terlalu bermanfaat. Yang terpenting adalah mengetahui cara baca kitab gundul dan mengetahui i’rab setiap kata di dalam kalimat.

Keempat: Syekh Abdullah Al-Fauzan memperhatikan i’rab dari contoh-contoh yang ditulis di kitab ini. Ada yang diambil dari Al-Qur’an dan syair-syair Arab jahiliah pada dalil yang disebutkan oleh Ibnu Hisyam. Syair Arab dianggap tingkat kefasihanya paling tinggi setelah Al-Qur’an. Namun, ada beberapa contoh yang tidak di-i’rab oleh Syekh Abdullah Al-Fauzan karena dianggap i’rab-nya mudah bagi pembaca.

Kelima: Syekh Abdullah Al-Fauzan memberikan judul pada setiap bab sebagaimana kitab nahwu yang lain, agar pembaca mengetahui materi apa yang akan dipelajari, pembahasan sesuai dengan judul, dan materi tidak keluar dari judul pembahasan.

Syarah dalam kitab ini adalah syarah yang ringkas yang berisi pengetahuan-pengetahuan umum yang ditunjang merujuk kepada kitab-kitab nahwu klasik, yaitu: Audhahu Al-Masalik Syarh Alfiyah Ibnu Malik karya Ibnu Hisyam, Syarhu Ibnu Aqil Syarh Alfiyah Ibni Malik karya Ibnu Aqil, An-Nahwu Al-Wafiy, Syarhu Al-Fakihiy Kitab Qathrun Nada dan Kitab An-Nahwu Al-Wadhih, dan kitab-kitab lainya.

Baca juga: Pelajarilah Bahasa Arab Agar Memahami Agama

Hal yang perlu diperhatikan sebelum mempelajari kitab Qathrun Nada

Ibnu Hisyam telah menulis Syarah Matan Qathrun Nada dengan syarah yang cukup. Akan tetapi, Syekh Abdullah Ibn Shalih Al-Fauzan berpendapat ada 2 hal yang perlu diketahui sebelum mempelajari kitab Qathrun Nada, yaitu:

Pertama: Ibnu Hisyam terkadang merinci pembahasan pada sebagian permasalahan yang tidak ditemukan di kitab-kitab nahwu yang tebal dan Ibnu Hisyam juga memberikan contohnya. Padahal, khilaf yang disampaikan tidak terlalu berfaedah. Dari sudut pandang ini, tidak cocok dengan judul matan. Karena judul syarah adalah qatrun yang artinya tetesan. Maksudnya adalah ringkas. Akan tetapi, pada kitab Syarah Ibnu Hisyam berpanjang lebar. Di sisi lain, penuntut ilmu pemula cenderung kesusahan dalam memahaminya.

Kedua: Pada kitab syarah yang ditulis oleh Ibnu Hisyam tidak terdapat pembahasan tentang masalah yang ada pada matan Qathrun Nada. Pada matan ada, namun pada syarah tidak dibahas. Di antara pembahasan yang tidak disebutkan adalah:

  • Kata عَالَمُوْنَ (segala sesuatu yang selain Allah). Kata tersebut dinamakan isim mulhaq (distatuskan sama dengan) jamak mudzakkar salim. Kata tersebut dikatakan mulhaq jamak mudzakar salim dikarenakan tidak mencukupi syarat sebagai isim jamak mudzakar salim. Dikarenakan syarat isim jamak mudzakar salim harus عَاقِلٌ (berakal). Akan tetapi, kata tersebut غَيْرُ العَاقِلِ (tidak berakal). Oleh karena itu, kata عَالَمُوْنَ dinamakan isim mulhaq jamak mudzakar salim. Kata ini tidak dibahas dalam kitab Syarah Ibnu Hisyam.
  • أُوْلَاتٌ (pemilik). Kata tersebut juga tidak disebutkan pada kitab syarah-nya Ibnu Hisyam. Kata tersebut dinamakan isim mulhaq jamak muannats salim dikarenakan tidak mencukupi syarat sebagai jamak muannats salim. Oleh karena itu, dinamakan isim mulhaq jamak muannats salim.
  • Mendahulukan maf’ul bih (objek). Contoh: ضَرَبْتُ زَيْدًا (Aku telah memukul Zaid). ضَرَبْتُ adalah fi’il (kata kerja) dan fa’il (subjek), sedangkan kata زَيْدًا adalah maf’ul bih. Maf’ul bih boleh didahulukan, sehingga dibaca  زَيْدًا ضَرَبْتُ. Ketika maf’ul bih didahulukan, maka menunjukkan makna pembatasan. Kaidahnya adalah mendahulukan sesuatu yang harusnya di belakang, maka menimbulkan makna pembatasan. Pembahasan ini juga tidak disebutkan dalam kitab syarah.
  • Kata yang tidak disebutkan di dalam kitab syarah-nya Ibnu Hisyam adalah fa’il نِعْمَ (sebaik-baik) yang ma’rifah dengan أل jinsiyah.
  • Ibnu Hisyam menyebutkan dalam Matan Qathrun Nada bahwasanya, mufassar untuk fa’il نِعْمَ apabila berupa dhamir (kata ganti), maka dia harus menyesuaikan dengan makhsus. Akan tetapi, di dalam kitab syarah tersebut tidak disebutkan kesesuaian hal tersebut.
  • Ibnu Hisyam menyebutkan sebagian hukum isim fi’il di Matan Qathrun Nada. Akan tetapi, tidak disajikan hukum isim fi’il pada kitab syarahnya.
  • Pada kitab syarah Ibnu Hisyam halaman 260 yang di-tahqiq oleh Muhammad Abdil Hamid, terdapat pada Matan Qathrun Nada dalil nahwu berupa syair. Akan tetapi, di kitab syarah adalah bait syair yang lain.
  • Pada pembahasan التَنَازُعُ , Ibnu Hisyam menyebutkan dalil syair. Akan tetapi, pada kitab syarah Ibnu Hisyam tidak membahas bait syair tersebut.

Syekh Abdullah Ibnu Shalih Al-Fauzan berprasangka baik, bahwasanya catatan yang dituliskan oleh beliau bisa jadi dikarenakan Ibnu Hisyam mengabaikan hal-hal tersebut atau bisa jadi dikarenakan penjelasan tersebut memang tidak ada pada sebagian naskah.

Ibnu Hisyam mengabaikan hal tersebut bisa jadi karena dianggap sudah jelas sehingga tidak perlu dijelaskan kembali. Sebagaimana pada setiap zaman, tingkat keilmuan manusia berbeda-beda. Bisa jadi pada zaman Ibnu Hisyam tentang pengetahuan bahasa Arab mempunyai tingkat keilmuan yang tinggi. Bisa jadi pada zaman ini dianggap susah, akan tetapi zaman Ibnu Hisyam dianggap mudah, sehingga Ibnu Hisyam tidak men-syarah penjelasan tersebut. Sebagaimana pada awal munculnya ilmu nahwu hanya membahas mubtada dan khabar, fa’il, dan lain-lain. Akan tetapi, setelah berkembangnya zaman, semakin banyak poin-poin yang samar bagi orang Arab sendiri untuk memahaminya, sehingga munculnya kaidah baru. Seperti maf’ul muthlaq, dan lain-lain.

Lanjut ke bagian 2: Insyaallah bersambung

Baca juga: Keutamaan Belajar Bahasa Arab dan Ilmu Nahwu

***

Penulis: Rafi Nugraha


Artikel asli: https://muslim.or.id/90912-penjelasan-kitab-tajilun-nada-bag-1-mukadimah.html